Perampasan Tanah Rancapinang Diabaikan BPN, Ribuan Massa akan Geruduk Kantor Bupati dan DPRD

Ilustrasi aksi unjuk rasa

POROSIDN.COM – Persoalan tanah di Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Pandeglang, kian menyeruak menjadi luka besar yang tak kunjung disembuhkan. 

Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Ujung Kulon (AMMUK) kembali melayangkan surat pemberitahuan aksi susulan ke Mapolres Pandeglang. Aksi ini dijadwalkan Selasa, 7 Oktober 2025, dengan konsentrasi massa di Kantor BPN Kabupaten Pandeglang, Kantor Bupati Pandeglang, dan Kantor DPRD Pandeglang.

Diperkirakan lebih dari 2.000 orang akan turun ke jalan, bukan sekadar membawa spanduk protes, melainkan membawa satu suara, "hentikan perampasan tanah rakyat". 

Humas AMMUK, Usep Saepudin, menegaskan bahwa aksi ini adalah tindak lanjut dari kekecewaan karena aksi sebelumnya justru diabaikan oleh BPN Pandeglang.

Ada tiga tuntutan pokok yang dibawa AMMUK:

1. Batalkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) No.01 Tahun 2012 atas nama Kementerian Pertahanan RI;

2. Kembalikan tanah Rancapinang kepada pemilik sah, rakyat;

3. Hentikan segala bentuk perampasan tanah atas nama negara.

“Bagaimana mungkin negara yang katanya hadir untuk rakyat justru merampas tanah rakyat? SHP No.01/2012 itu cacat moral dan cacat keadilan. Rakyat Rancapinang bukan penyusup di tanahnya sendiri. Mereka pemilik sah, dan sejarah membuktikan itu,” tegas Usep.

AMMUK menyebut sikap bungkam BPN Pandeglang sebagai pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Negara dinilai bersembunyi di balik legalitas sertifikat, sementara di hadapan rakyat, itu tak ubahnya dokumen perampasan dengan stempel resmi.

Tak hanya menyoroti BPN, AMMUK juga menyinggung peran Bupati dan DPRD Pandeglang. “Kalau bupati dan DPRD hanya jadi penonton, mereka sama saja jadi kaki tangan perampasan tanah. Diam mereka adalah tanda keberpihakan, bukan pada rakyat, tapi pada kepentingan yang mengorbankan rakyat,” sindir Usep.

Bagi AMMUK, perjuangan tanah Rancapinang adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan agraria. Tanah bukan sekadar lahan, melainkan ruang hidup, sumber pangan, dan harga diri. “Jika tanah dirampas, maka rakyat dipaksa kehilangan kehidupan. Dan jika negara tak berpihak, maka rakyat berhak melawan,” pungkasnya.

Ribuan massa akan bergerak. Aksi 7 Oktober bukan sekadar demonstrasi, melainkan panggung perlawanan yang akan mencatatkan satu pesan, "rakyat Ujung Kulon tidak akan tunduk pada perampasan". ***